Aku ambil cerita ini dari salah satu buku favoritku, judulnya “Ya Allah, Aku Jatuh Cinta!” karya Burhan Sodiq...
Suami saya adalah seorang insinyur, saya mencintai sifatnya yang alami dan saya menyukai perasaan hangat yang muncul dihati saya ketika saya bersandar dibahunya yang bidang.
Tiga tahun dalam masa perkenalan, dan dua tahun masa pernikahan. Harus saya akui, bahwa saya mulai merasa lelah. Alasan-alasan saya mencintainya dulu telah berubah menjadi sesuatu yang menjemukan.
Saya seorang wanita yang sentimental dan benar-benar sensitive serta berperasaan halus. Saya merindukan saat-saat romantis seperti seorang anak yang menginginkan permen. Tetapi semua itu tidak pernah saya dapatkan. Suami saya jauh berbeda dari yang saya harapkan. Rasa sensitifnya kurang. Dan ketidakmampuannya dalam menciptakan suasana romantis dalam pernikahan kami telah mematahkan semua harapan saya akan cinta yang ideal.
Suatu hari. Saya beranikan diri untuk mengatakan keputusan saya kepadanya. Bahwa saya menginginkan perceraian. “Mengapa?” dia bertanya dengan terkejut. “Saya lelah, kamu tidak pernah bias memberikan cinta yang saya inginkan.”
Dia terdiam dan termenung sepanjang malam di depan komputernya. Tampak seolah-olah sedang mengerjakan sesuatu. Padahal tidak. Kekecewaan saya semakin bertambah. Seorang pria yang bahkan tidak dapat mengekspresikan perasaannya. Apalagi yang bias saya harapkan darinya? Dan akhirnya di bertanya, “apa yang dapat saya lakukan untuk merubah pikiranmu?”
Saya menatap matanya dalam-dalam dan menjawab dengan pelan. “saya punya pertanyaan, jika kau dapat menemukan jawabannya didalam hati saya, saya akan merubah pikiran saya : seandainya, saya menyukai setangkai bunga indah yang ada di tebing gunung dan kita berdua tahu jika kamu memanjat gunung itu kamu akan mati. Apakah kamu akan melakukannya untuk saya?” Dia termenung dan akhirnya berkata, “saya akan memberikan jawabannya besok.”
Hati saya langsung gundah mendengar responnya. Keesokan paginya. Dia tidak ada di rumah, dan saya menemukan selembar kertas dengan oret-oretan tangannya dibawah sebuah gelas yang berisi air susu hangat yang bertuliskan..
“Sayang, saya tidak akan mengambil bunga itu untukmu, tetapi ijinkan saya untuk menjelaskan alasannya. “kalimat pertama ini menghancurkan hati saya. Saya melanjutkan untuk membacanya.
“Kamu bias mengetik di computer dan selalu mengacaukan program di PC-nya dan akhirnya menangis didepan monitor, saya harus memberikan jari-jari saya supaya bias membantumu dan memperbaiki programnya.”
“Kamu selalu lupa membawa kunci rumah ketika kamu keluar rumah, dan saya harus memberikan kaki saya supaya bias mendobrak pintu, dan membukakan pintu untukmu ketika pulang.” “Kamu suka jalan-jalan keluar kota, tapi selalu nyasar ditempat-tempat baru yang kamu kunjungi. Saya harus bias memberikan mata saya untuk mengarahkanmu.”
“Kamu selalu pegal-pegtal pada waktu ‘teman baikmu’ datang setiap bulannya, dan saya harus memberikan tangan saya untuk memijat kakimu yang pegal.” “kamu senang diam dirumah, dan saya selalu khawatir kamu akan menjadi ‘aneh’. Dan harus membelikan sesuatu yang dapat menghiburmu dirumah atau meminjamkan lidahku untuk menceritakan hal-hal lucu yang aku alami.” “Kamu selalu menatap komputermu. Membaca buku dan itu tidak baik untuk kesehatan matamu. Saya harus menjaga mata saya agar ketika kita tua nanti. Saya masih dapat menolong mengguntingkan kukumu dan mencabuti ubanmu.”
“Tanganku akan memegang tangannu, membimbingmu menulusuri pantai, menikmati matahari pagi dan pasir yang indah. Menceritakan warna-warna bunga yang bersinar dan indah seperti cantiknya wajahmu.”
Tapi sayangku, saya tidak akan mengambil bunga itu untuk mati. Karena, saya tidak sanggup melihat air matamu mengalir mengisi kematianku.”
“Sayangku, saya tahu, ada banyak orang yang bisa mencintaimu.”
“untuk itu saying, jika semua yang telah diberikan tanganku, kakiku, mataku, tidak cukup bagimu. Aku tidak bisa menahan dirimu mencari tangan, kaki, dan mata lain yang dapat membahagiakanmu.”
Air mata saya jatuh ke atas tulisannya dan membuat tintanya menjadi kabur, tetapi saya tetap berusaha membacanya. “Dan sekarang, sayangku, kamu telah selesai membaca jawaban saya. Jika kamu puas dengan semua jawaban ini, tolong bukakan pintu rumah kita, saya sekarang sedang berdiri disana menunggu jawabanmu.”
“Jika kamu tidak puas, sayangku, biarkan aku masuk untuk membereskan barang-barangku, dan aku tidak akan mempersulit hidupmu. Percayalah, bahagiaku bila kau bahagia.”
Saya segera berlari membuka pintu dan melihatnya berdiri didepan pintu dengan wajah penasaran sambil tangannya memegang susu dan roti kesukaanku. Oh, kini saya tahu, tidak ada orang yang pernah mencintai saya lebih dari dia mencintaiku.
Itulah cinta, disaat kita merasa cinta itu telah berangsur-angsur hilang dari hati karena kita merasa dia tidak dapat memberikan cinta dalam wujud yang kita inginkan, maka cinta itu sesungguhnya telah hadir dalam wujud lain yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Seringkali yang kita butuhkan adalah memahami wujud cinta dari pasangan kita, dan bukan mengaharapkan wujud tertentu.
-The end-
0 komentar:
Posting Komentar